Rabu, Juni 30, 2010

Meja Makan




Sahabat saya kembali ingin berbagi cerita, saya yang awalnya tidak bersemangat menjadi senang karena percakapan ini. Kira-kira ceritanya seperti ini.

Shinta, berada di ragamu ini menyenangkan sekali ternyata, ujar Ade. Banyak yang bisa saya lihat, rasa, dan dengarkan. Kita sudah berbagi banyak sampai hari ini, kadang-kadang kamu yang bercerita dan dilain waktu saya yang bercerita, kita rangkai semuanya dengan kata-kata dan menuliskannya dengan rapi. Sungguh menyenangkan sekali persahabatan ini.

Mungkin terkadang kamu merasa jenuh dengan saya, dan tidak akan merasa kecil hati bila kamu ingin bermain dengan teman yang lainnya, saya tidak akan pergi kemana-mana.

Saya melihat matamu letih menatap sewaktu saya bercerita, sesekali kamu memejamkan mata dan membukanya kembali, saya tahu kamu mengantuk tapi sorry saya belum selesai bercerita. Dan telingamu mungkin juga sudah terlalu penat mendengarkan semua celotehan-celotehan saya tentang sesuatu yang mungkin tidak penting bagimu, tapi ini sungguh penting buat saya. Dan ketika mulutmu terbuka untuk mengatakan ”Saya akan mendengarkannya besok, sekarang mari kita tidur”! Dengan itu saya hanya terdiam dan mengabulkan keinginanmu.

Setelah tidur, pagi sekali saya sudah mengajak mu kembali bercerita, jangan mengelak lagi, kamu hanya cukup mendengarkan saja, itu pinta saya.

Saya ingin bercerita tentang meja makan, kali ini. Terdengar sederhana tetapi ada yang saya dapat dari meja makan itu selain makanan.

Saya lahir dari keluarga yang membiasakan makan di meja makan. Awalnya saya sangat dongkol dengan kebiasaan ini, saya yang waktu itu masih anak-anak selalu saja menjadi anak yang rutin melanggar peraturan.
”Mengapa seh harus begitu, kan bisa makan disini juga” ucap saya tiap kali papa menegur ketika melihat saya makan di depan tipi.

Dan sekarang, ketika kebiasaan itu sudah mendarah daging dikehidupan, saya menjadi mengerti mengapa papa membiasakannya untuk kami.
Saya merasa papa benar sewaktu berkata ”Cobalah tertib dengan makan pada tempatnya, makanlah di meja makan.” ini terdengar sederhana bukan, mungkin berkali-kali ga penting bagi saya kala itu. Bagaimana dengan keluarga yang tidak memiliki meja makan, ucap saya. Tapi tetap saja saya tidak bisa lepas dari itu karena dirumah kami ada meja makan..hehe

Sewaktu di meja makan...
Saya merasakan keakraban yang hangat. Kami menjadi satu, bercerita, terkadang ada tawa bila yang diceritakan ada lucunya, dan ada diskusi kecilnya bila merasa ada yang perlu di diskusikan, kami adalah keluarga yang tidak mematuhi celotehan ”Makan jangan bersuara”.

Dengan kebiasaan kami berkomunikasi di meja makan, saya merasa sekarang menjadi seseorang yang sangat mementingkan komunikasi, dan berdiskusi, benar sekali bila ada yang bilang "tidak ada sesuatu yang tidak selesai bila dibicarakan".

Saya ingat sekali waktu di meja makan kala itu, tiga hari menjelang konser band dari ibukota di kota kami, saya mengajukan permintaan ijin untuk diperbolehkan menonton konser itu bareng teman-teman. Kala itu, mungkin untuk melakukan kegiatan yang seperti ini masih kedengaran tabu dan saya sudah tahu jawaban apa nantinya yang akan diterima, tetapi saya tetap memberanikan diri untuk mengatakannya.
”Tidak elok cewek nonton yang begituan, tidak boleh!!” ucap papa dengan suara yang sangat tegas.

Semua sudah dalam perkiraan saya, karena ada beberapa konser lainnya yang saya lewatkan juga setelah mendengar kata-kata yang percis sama ini tiap kali saya minta ijin untuk itu. Namun kali ini, saya sudah menyiapkan satu pembelaan untuk itu.
”Mengapa tidak memberikan kepercayaan sedikit kepada anak, mengapa tidak boleh?? Mengapa mencurigai anak sendiri?? Kira-kira seperti itu kata-kata yang keluar dari mulut saya waktu itu, terdengar ada irama pembrontakan tetapi sebenarnya tidak, saya hanya meminta alasan yang tepat ”mengapa saya tidak boleh??”

”Sekali tidak, tetap tidak!” hanya itu kemudian yang saya dengar dari papa.
Meja makan masih menjadi saksi waktu itu, dan saya tahu mesti bagaimana, dengan lembut saya memecahkan kebisuan sesaat setelah kata-kata tegas tadi terlontar.
”Nonton konser, ya nonton konser, Cuma itu”. Mengapa tidak boleh, heran?? ”
Dan setelah itu saya mendengar semua alasan dari A sampe Z tentang mengapa tidak boleh, mengapa begini mengapa begitu. Mulai dari cerita yang benar-benar nyata sampai pada cerita ketakutan-ketakutan orangtua ketika anaknya mulai beranjak dewasa.

Saya mengerti, mengapa tidak boleh. Tetapi saya yakinkan ketika itu, saya bisa jaga diri dan tidak macam-macam, semacam saja. Saya tetap maunya diberi ijin untuk menonton konser.

Esoknya di meja makan ketika jadwalnya makan malam, tiba-tiba papa bilang ”Harga karcisnya berapa?” (saya tahu sekali ini pertanda apa, dalam hati bersorak senang).

Meja makan kami akhirnya bukan hanya tempat makan saja, tetapi tempat kami bercengkrama, tempat dimana bisa saling berkomunikasi, dan kalo ’makan jangan bersuara’ diganti dengan "kalo ngunyah jangan bicara", hehe.
---
(saya ingin punya meja makan sebelum punya kursi tamu, dingdong :D)

Tidak ada komentar: